Minggu, 28 Februari 2010

Wajah Pendidikan di Indonesia Sekarang


Belakangan ini masyarakat kerap membicarakan berbagai hal negatif mengenai pendidikan di Indonesia. Misalnya: kebocoran jawaban Ujian Akhir Nasional, kekerasan antar-murid atau guru terhadap murid, maupun kasus pelecehan seksual pelajar. Semua hal tersebut menimbulkan pertanyaan dalam benak masyarakat. Inikah wajah pendidikan di Indonesia?
Beragam keluhan dilontarkan. Beragam pendapat pun dikemukakan. Namun, apakah semua yang bersuara memahami maksud dari pendidikan itu sendiri? Pada hakikatnya, secara sederhana, pendidikan adalah proses meningkatkan ilmu pengetahuan melalui lembaga formal maupun non-formal. Sedangkan definisi pendidikan yang sebenarnya bagi saya adalah bentuk bimbingan atau pengajaran dari pendidik untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan memenuhi kapasitas diri yang terdidik.
Kapasitas-kapasitas diri tersebut bukan sebatas kemampuan mengerjakan soal-soal Matematika, Kimia, Fisika, Bahasa Inggris, dan mata pelajaran lainnya. Artinya tidak dibatasi pada akademik. Melainkan kapasitas yang perlu dipenuhi tersebut mencakup fisik, yaitu jasmani dan non-fisik, yaitu rohani, akal, dan kepribadian.
Definisi di atas apabila dihubungkan dengan kenyataan, tak mungkin saya pungkiri bahwa sesungguhnya pendidikan telah terjadi sejak pertama kali dimulainya peradaban dalam masyarakat. Karena pada setiap peradaban yang terjadi pada masyarakat, berlangsung proses pendidikan di dalamnya.
Sesungguhnya, pendidikan dapat diperoleh di mana saja. Tidak terbatas dari sekolah, perguruan tinggi, dan lembaga non-formal. Oleh karena itu, menurut saya bahwa tempat untuk memperoleh pendidikan yang sebenarnya adalah lingkungan hidup kita sendiri. Termasuk pula di dalamnya nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat.
Akan tetapi, di sini saya akan lebih menekankan pendidikan yang melalui lembaga formal dan non-formal.
Adapun pengertian dari pendidikan formal adalah merupakan bimbingan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan utama berdasarkan akademis di lembaga-lembaga formal, yaitu sekolah dan perguruan tinggi. Sedangkan yang dimaksud dari pendidikan non-formal adalah merupakan bimbingan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan utama dengan pengkhususan melatih keterampilan anak didik pada lembaga-lembaga non-formal, seperti tempat les bahasa asing, tempat kursus keterampilan tangan, bahkan TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an). Mencakup juga pendidikan dalam keluarga dan masyarakat.
Dalam masalah waktu dan tempat, pendidikan formal terikat oleh waktu dan tempat. Sedangkan pendidikan non-formal tidak dibatasi waktu dan tempat. Meskipun demikian, hakikatnya bahwa pendidikan itu berlangsung seumur hidup. Artinya tidak dibatasi oleh usia. Seperti tertera pada hadist Nabiullah SAW, sebagai berikut: Uthlubul ’ilma minal mahdi ilal lahdi.
Selain untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dalam bentuk akademis dan keterampilan, lembaga pendidikan formal dan non-formal juga memiliki tanggung jawab atas pemenuhan kapasitas diri lain bagi pelajar-pelajarnya, yaitu seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Bahwa pendidikan yang diajarkan tak sebatas pada akademis saja. Melainkan nilai-nilai yang berkembang dalam kemasyarakatan.
Sekilas penjelasan mengenai komponen-komponen yang ada dalam pendidikan. “Lantas, apakah sebenarnya pendidikan itu dibutuhkan?” Pendidikan mempunyai peranan yang sanagat penting dalam kehidupan manusia, karena dengan pendidikan dapat mengubah sesuatu yang tidak baik menjadi lebih baik. Pendidikan sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, mengenai proses pendidikan yang sebenarnya telah terjadi dalam peradaban masyarakat. Apabila hal tersebut dihubungkan kepada perkembangan zaman sekarang, maka hal ini menunjukkan bahwa dahulu pendidikan dibutuhkan bagi manusia untuk bertahan hidup. Sedangkan, sekarang pendidikan dibutuhkan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan keluarga dan masyarakat. “Oleh karena itulah mengapa setiap orang berhak memperoleh pendidikan?”
Seperti sebagaimana perkembangan teknologi, pembangunan prasarana, dan pengaktifan lapangan kerja sesungguhnya memiliki tujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Semua hal tersebut merupakan hasil dari pendidikan.
Para teknokrat, sarjana-sarjana hukum, manajer perusahaan, artis, bahkan presiden Republik Indonesia pun lahir menjadi orang-orang yang berjasa bagi Indonesia berkat pendidikan. Seorang teknisi tidak mungkin mampu membangun infrastruktur-infrastruktur tanpa mempelajari dan melatih keterampilannya di lembaga formal terlebih dahulu. Para pengacara tidak mungkin mampu membebaskan kliennya tanpa tahu bagaimana harus mengatur strategi pembelaan jika ia tidak mengetahui dasar-dasar hukum. Para ahli ekonomi tidak mungkin mampu meningkatkan pemasukan negara apabila tidak mempelajari masalah perekonomian terlebih dahulu. Semua itu berkat adanya sebuah pendidikan.
Untuk saat ini, pendidikan dibutuhkan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masing-masing pribadi maupun khalayak luas. Berdasarkan keperluan ini, manusia harus mengenyam pendidikan. “Adapun, pendidikan macam apa yang sepatutnya dilaksanakan demi memenuhi keperluan tersebut?”
Pendidikan yang baik dan bermutu adalah pendidikan yang mampu menciptakan para siswa didik yang sehat, dalam artian sehat rohmani dan jasmani, kemudian mandiri, berbudaya, berakhlak muliya, berpengetahuan luas menguasai teknologi,serta cinta tanah air, dan yang paling penting dapat beretos kerja atau dapat menciptakan dan membuka lapangan usaha baru.
Setelah banyak berteori, saatnya kita beralih kepada kenyataan yang terjadi di Indonesia. Saat ini, banyak sekali masalah yang berkenaan dengan pendidikan. Dalam arti keberjalanan proses pendidikan tidak sesuai dengan teori. Banyak mengalami pembelokan. Ditinjau dari definisi saja, bagi saya definisi pendidikan di Indonesia telah melenceng. Pendidikan yang semula merupakan bentuk bimbingan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan kapasitas diri kini menjadi suatu bentuk identitas derajat sosial.
Banyak pribadi yang mengenyam pendidikan agar tidak kalah gengsi dan ditanggapi posisinya dalam bersosialisasi dengan masyarakat luas. Sekedar untuk mendapatkan status pendidikan. Karena faktanya di Indonesia, semakin tinggi status pendidikan yang diperoleh oleh seseorang, semakin tinggi pula penghargaan derajat sosial dari masyarakat di sekelilingnya. Masalah ini sudah merajalela, bahkan mungkin di Universitas-Universitas sendiri pun masih banyak mahasiswanya yang melanjutkan pembelajaran sekedar untuk mendapat gelar sarjana teknik. Padahal jelas-jelas pendidikan dibutuhkan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan, bukan untuk meningkatkan status sosial.
Lembaga-lembaga formal dan non-formal pun sekedar menjadi tempat singgah dari rumah kembali lagi ke rumah. Dan proses pembelajaran sekedar menjadi pengisi waktu luang. Pelaksanaan proses pendidikan kini telah menjadi sebuah proses yang tidak mengalami perubahan alias monoton. Guru datang ke sekolah untuk mengajar. Bahan ajaran yang selalu sama setiap tahunnya. Bahan ajaran yang selalu sama yang disampaikan kepada murid-murid berbeda di tiap-tiap kelasnya. Dan cara pengajaran yang sama. Begitu pula dengan murid. Datang ke sekolah, mendengarkan penjelasan lalu pulang ke rumah atau memilih bermain bersama kawan dulu sebelum pulang. Sebuah proses pembelajaran yang berlangsung tanpa berubah keadaan.
Sebenarnya hakikat belajar adalah aktivitas perubahan tingkah laku pembelajaran. Perubahan tingkah laku akan tercapai melalui kerja keras dan usaha cerdas dari siapapun mereka yang terlibat dalam proses belajar itu sendiri. Hal itu adalah penting bagi setiap siswa. Sehingga mampu menemukan paling tidak satu wilayah kemampuan dari berbagai kecerdasan yang ada. Usaha ini akan menumbuhkan semangat siswa dalam mengungkap bakat dan upaya meningkatkan daya cipta.
Sehingga akan tercapai hasil belajar yang optimal, melatih pemikiran-pemikiran yang mampu menumbuhkan inovasi baru dari siswa. Kemampuan berfikir dan kecakapan hidup adalah hasil akhir yang diharapkan dalam pembelajaran yang sistematis ini. Dengan menggunakan pembelajaran yang sistematis, siswa akan dapat belajar dengan banyak cara dan mampu memaksimalkan potensi dirinya.
Masalah lain yang terjadi di Indonesia, yaitu krisis karakter. Akhir-akhir ini media massa sering memberitakan berbagai tindak kriminal yang terjadi di lembaga pendidikan, terutama lembaga formal. Seperti perkelahian antar-pelajar, pelecehan seksual, moral guru terhadap murid, perekaman video porno pelajar, dan tindak kekerasan antar-pelajar untuk dapat menjadi anggota sebuah geng.
Coba kita renungkan bersama, apa sebenarnya yang salah dengan pendidikan di Indonesia? Namun apabila dikaji lagi, pendidikan di Indonesia memiliki masalah-masalah dalam ketidaksempurnaan sistem pembelajaran di negara kita. Karena sistem pembelajaran tersebut merupakan penyokong utama dalam tersampaikannya pendidikan.
Sebagaimana sistem pendidikan ideal yang mampu mendukung penyampaian ilmu pendidikan dengan memberikan ajaran berupa norma-norma, berdasarkan pada teori, dan bersifat praktis dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan, sistem pendidikan di Indonesia justru malah mengacu pada ilmu pendidikan teoritis atau pendidikan yang hanya berdasarkan pada teori. Padahal, ketiganya harus berjalan secara beriringan. Karena dalam berkehidupan, ilmu pendidikan yang berdasarkan pada teoriti tidak berarti banyak tanpa dibarengi dengan memberikan ajaran berupa norma-norma dan sistem pengajaran secara praktis.
Perlu diketahui bahwa ilmu pendidikan yang hanya berdasarkan pada teori akan menyebabkan akademis menjadi prioritas utama, dengan nilai sebagai tolok ukur keberhasilannya. Kenyataannya memang seperti ini. Seperti halnya banyak orang tua memerintahkan anak-anak mereka untuk memperoleh nilai setinggi-tingginya. Banyak mahasiswa berusaha meraih Indeks Prestasi (IP) setinggi-tingginya. Tidak salah memang. Namun, sesungguhnya bukan nilai yang dapat membantu kita setelah kita terjun ke masyarakat, dunia pekerjaan yang sesungguhnya. Melainkan kemampuan menerapkan ilmu yng kita peroleh dan terutama memiliki karakter serta kepribadian yang baik, itulah yang menjadi prioritas utama.
Sistem pendidikan ini akan menjadi salah apabila berbagai cara dihalalkan untuk meraih nilai yang ujung-ujungnya hanya merupakan tolok ukur keberhasilan pendidikan. Misalnya, pihak sekolah membocorkan jawaban Ujian Akhir Nasional kepada murid-muridnya agar semua murid tingkat akhir dapat lulus. Begitu pula dengan kepala sekolah yang terima ‘main belakang’ agar seorang anak dapat melanjutkan pembelajaran di sekolahnya. “Sungguh aneh sekali kan?” Di mana peran mereka sebagai pendidik moral.
Kurangnya penyampaian ilmu pendidikan dengan memberikan ajaran berupa norma-norma mengakibatkan krisis karakter pelajar yang berujung pada timbulnya berbagai tindak kriminal yang sekarang marak dilakukan oleh para pelaku pendidikan, yaitu pelajar, guru, maupun pelaku pendidikan lembaga formal atau non-formal lainnya.
Sedangkan kurangnya penyampaian ilmu pendidikan yng secara praktis menurut saya menyebabkan tidak mengalaminya perubahan dalam proses pengajaran. Sehingga, menyebabkan pendidik maupun orang yang dididik merasa kurang bersemangat terhadap proses pembelajaran yang mereka laksanakan.
Ketidakefektifan sistem pendidikan di Indonesia pula yang menurut saya menyebabkan pembelokan definisi pendidikan. Sistem pendidikan kita kurang dapat mengefektifkan penyampaian tujuan pendidikan itu sendiri dan tidak memiliki basis. Yaitu tidak memiliki dasar untuk melangkah. Akibatnya, inti dari pencapaian pendidikan yang semula merupakan bimbingan dalam rangka menjadi manusia yang lebih berkapasitas menjadi tidak ada. Akhirnya masyarakat berpendapat bahwa mengenyam pendidikan adalah agar untuk meningkatkan status sosial.
Selain masalah-masalah di atas, ada satu masalah yang bagi saya merupakan masalah terbesar dalam dunia pendidikan di Indonesia. Yaitu tingginya biaya pendidikan. Itulah masalah yang paling sering diperbicarakan oleh masyarakat Indonesia.
Apabiladicermati lebih dalam, masalah tersebut aslinya timbul dari kesalahan para pengatur sistem pendidikan. Yang saya maksud bukanlah pemerintah pusat. Pemerintah pusat justru sudah berjasa, setidaknya telah menaikkan anggaran pendidikan menjadi anggaran terbesar dibandingkan bidang-bidang lain.
Para pengatur sistem pendidikan ialah mereka para penanggungjawab atas lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia yang menjalankan birokrasi yang rumit dan tidak jujur. Apalagi banyak praktek KKN yang terjadi. Hal ini meyakinkan saya bahwa mereka para birokrat kebanyakan merupakan orang-orang cacat yang egois dan angkuh. Akibat birokrasi yang tidak sehat tersebut, menurun pada masyarakat awam yang sebenarnya tidak berkepentingan untuk dilibatkan dalam proses menuju kemelaratan.
Tanpa berusaha menutup mata atas keberadaan sisi positif, sebenarnya banyak masyarakat yang berniat mengenyam pendidikan agar nantinya mampu berkontribusi kepada Tuhan, bangsa, dan negara. Namun, ketidaksempurnaan sistem dan kecacatan para pengatur sistem telah merusak makna dari pendidikan itu sendiri. Masyarakat hanya mampu melihat berbagai sisi negatif yang ditimbulkan, terutama atas perilaku birokrasi yang memang tidak transparan. Akibatnya, peranan pendidikan yang nampak dalam pandangan masyarakat pun seolah menjadi sebuah wajah yang tercoreng. Pertanyaannya adalah, “Akankah wajah pendidikan di Indonesia ini terus berlanjut?" Sebagai tunas bangsa, melalui upaya belajar marilah kita bersama-sama mempersiapkan diri menjemput era yang bermutu dan berkualitas.