Sabtu, 24 Maret 2012

MENINJAU KEMBALI REALITA KEJUJURAN AKADEMIK


Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu, sesungguhnya kejujuran (mendatangkan) ketenangan dan kebohongan (mendatangkan) keraguan.” -Sabda Nabi Muhammad SAW-
Ungkapan yang berisi pesan moral dari sang revolusioner di atas sekiranya bisa kita artikan dan pahami lebih serius lagi, sehingga menyadarkan kita akan pentingnya makna dari sebuah kejujuran.
Kata “kejujuran” ini mungkin terasa gampang untuk diucapkan, tetapi tidak segampang pula untuk pengaplikasiannya. Apalagi di zaman yang penuh gesek, gosok, dan gasak ini sangatlah sulit dan langka adanya. Dalam artian zaman sekarang ini siapa yang curang, dialah yang menang. Kadang juga semboyan sopo wong kang jujur bakale mujur itu tidak diberlakukan lagi.
Menurut dalam agama Islam, kejujuran merupakan sifat yang dimiliki oleh seseorang yang beriman. Sedangkan lawan dari kejujuran adalah dusta (kebohongan), yang mana merupakan sifat orang yang munafik. Versi saya mengatakan, kejujuran sendiri itu ada dua, kejujuran pada ucapan dan pada perbuatan. Namun, saya tidak membahas keduanya dalam argumen ini.
Banyak sebenarnya ungkapan-ungkapan lain yang dapat berperan sebagai katalisator diri untuk selalu memegang teguh pada sebuah kejujuran. Sebagaimana Allah SWT mengabarkan bahwa tidak ada yang bermanfaat bagi seorang hamba dan yang mampu menyelamatkannya dari azab, kecuali kejujurannya (kebenarannya). Nabi Muhammad juga selalu menganjurkan umatnya untuk selalu jujur karena kejujuran merupakan mukadimah akhlak mulia yang akan mengarahkan pemiliknya kepada akhlak tersebut.
Bisa dikatakan bahwa salah satu aset terbesar dan termahal manusia adalah sebuah kejujuran. Dimanapun dan sampai kapanpun, kejujuran adalah sesuatu yang mutlak dimiliki oleh setiap manusia. Tidak pandang itu dari kalangan non muslim maupun muslim. Karena dengan kejujuran, niscaya seseorang akan dapat mencapai derajat orang-orang yang mulia dan selamat dari segala keburukan dalam hidupnya. Karena pada dasarnya kejujuran adalah sebuah refleksi diri sebagai ukuran tentang seberapa besar nilai kualitas hidup seseorang.
Bangsa ini menjadi terdegradasi kualitas moral kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakatnya pun salah satu sebab yang signifikan berasal dari masalah kejujuran. Karena kejujuran dengan kata lain menjadi salah satu parameter dalam setiap aktivitas kehidupan, tanpa terkecuali dalam lingkungan dunia pendidikan pun.
Meskipun sekalipun dalam lingkup akademis yang pada hakikatnya merupakan ranah untuk membangun karakter disiplin dan penempaan moral yang lebih baik, meliputi salah satunya adalah penanaman sikap kejujuran. Akan tetapi, nyatanya fenomena ini malah menjadi sebuah dilema yang sudah tidak dapat dipungkiri kembali. Terbukti, di berbagai tingkatan dalam dunia pendidikan sering kita jumpai praktik-praktik ketidakjujuran tersebut. Salah satu bentuk ketidakjujuran yang terdapat di lingkungan dunia pendidikan, khususnya di lembaga pendidikan tinggi kerap dilakukan oleh mahasiswa bahkan parahnya kalangan dosen juga terjerumus dalam tindak amoral ini.
Sejatinya tidak sedikit dari para civitas akademika yang kurang bahkan tidak bisa menanamkan nilai kejujuran dalam setiap proses kegiatan belajar-mengajar yang dilakukan. Misalnya melakukan plagiasi atau menyontek. Bahkan masalah ketidakjujuran tersebut juga kerap pula menghinggapi sistem dari lembaga pendidikan, misalnya berupa peniadaan serta penyelewengan standarisasi kompetensi dan kualifikasi kurikulum dalam sistem pengelolaan pendidikan dan pengajaran yang dijalankan.
Memang jika kita selalu mengedepankan hal-hal yang bersifat nilai material, jabatan, ataupun kehormatan di mata orang lain dengan lulus ujian, mendapat hasil nilai yang bagus, dan realita-realita yang lainnya. Bahkan yang paling menjamur dan sulit untuk dihalangi, karena akibat matangnya sistem yang mungkin dapat dikatakan menghalalkan cara yang selalu lepas dari sebuah kejujuran Terbukti sekarang maraknya penggantian jawaban UNAS, manipulasi nilai raport, pembuatan ijasah palsu, sampai pembuatan skripsi di tempat jasa pembuatan skripsi. Sungguh buruknya kualitas pendidikan di negara ini.
Di sinilah letak permasalahannya. Karena saya kira masalah kejujuran menjadi salah satu indikator keberhasilan dalam proses kegiatan belajar-mengajar yang dilakukan. Meninjau realita sekarang ini, semisalnya ambisi untuk ingin memperoleh hasil yang maksimal dalam kadar kuantitas, namun jika dilakukan secara tidak jujur maka implikasinya tetap saja tidak akan baik. Walaupun dikatakan lembaga pendidikan bisa dikatakan berhasil, namun sejatinya keberhasilan tersebut adalah keberhasilan yang semu. Sebab proses menuju keberhasilan tersebut dilakukan dengan cara-cara yang tidak jujur. Itu yang perlu digaris bawahi sebenarnya.
Mahasiswa yang berhasil melalui cara-cara yang tidak jujur dengan cara menyontek karya orang atau plagiasi hasil karya akademiknya, akan senantiasa dirasakan dalam bentuk ketidakcakapan dalam dunia kerja atau dalam praktek-praktek lainnya dalam kehidupannya kelak. Dengan kata lain bisa jadi ia berhasil dalam nilai, namun tidak akan mendapat tempat dalam kapasitas hidupnya di mata orang lain, lebih-lebih dalam dunia kerja. Sebab nilai yang diperoleh adalah palsu.
Difikir-fikir, jika seseorang nekat melakukan hal-hal tersebut, berarti telah menggadaikan harga dirinya untuk sebuah tujuan jangka pendek (pragmatis). Anehnya, praktik semacam itu belum banyak terkuak. Apakah ini menunjukkan sangat mahirnya oknum-oknum tersebut atau memang aparat berwajib seolah menutup mata akan tindakan ini. Padahal, tindakan tersebut bisa dikategorikan kejahatan dan sang pelaku bisa dikenai sanksi berat.
Dalam perspektif ini, bisa dikatakan ini adalah sebuah drama kebohongan yang terorganisir. Dan drama kebohongan itu ternyata tak hanya umum di dunia politik, tetapi juga di kalangan akademik. Hal itu tentu patut disayangkan.
Lantas, sudah hilangkah benih-benih kejujuran bangsa ini? Tentu pertanyaan itu tak mudah dijawab. Karena, memang tindakan jujur sudah dikalahkan oleh kecurangan. Sungguh miris kalau begitu jika budaya tidakjujur ini hidup di dunia akademik. Padahal, dunia akademik idealnya tempat persemaian bibit kejujuran yang diharapkan mampu diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sejauh ini kita belum pernah berfikir bahwa membengkaknya ketidakjujuran menunjukkan bahwa negeri ini memang negeri yang telah gagal dalam bidang edukasi, yang ditunjukkan dengan mutu lulusan yang kurang berkualitas. Oleh karena itu, ketika kita mengetahui banyak kaum terdidik yang terjerumus dalam lembah pemalsuan, kompilasi, maupun plagiarisme maka perlu adanya sebuah mata pelajaran character building (membangun karakter) bagi para insan akademik untuk menciptakan para akademisi yang kapabel dalam intelegensi dan unggul dalm moralitas.
Revitalisasi itu memang perlu. Namun, kita harus menyadari bahwa persoalan kejujuran akademik, sampai kapanpun tetap akan selalu ada. Sebab kejujuran akademik adalah masalah kejujuran hati nurani. Biar bagaimanapun kebijakan yang digulirkan lembaga pendidikan dengan tujuan mengeliminasi setiap ruang ketidakjujuran kadang pula kurang memberikan timbal balik positif. Karena tetap saja sebenarnya yang bisa mengontrol kejujuran akademik tersebut adalah diri pribadi sebagai pelaku dalam dunia pendidikan itu sendiri.
Sekali lagi, keberhasilan karir seseorang dalam dunia pendidikan, jika ia melandaskan diri dari aktivitas ketidakjujuran dalam memperoleh hasil akademis, maka sejatinya ia berdiri pada hasil yang tidak hakiki. Sampai kapanpun kepalsuan atas apa yang dilakukan, akan senantiasa terus terngiang selama hidup. Itu artinya siapapun orangnya, jika ia melakukan ketidakjujuran akademik, ia akan selalu mengingat peristiwa itu, yang pada akhirnya membuat ketidaknyamanan dalam memori hidupnya sendiri. Oleh karenanya penanaman kejujuran akademis haruslah dimulai sejak dini dan oleh diri sendiri. Wallahu a’lam []


*Penulis adalah salah satu mahasiswa bidikmisi
Jurusan Biologi Semester Dua Universitas Islam Negeri Malang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar